Minggu, Februari 24, 2013

Abu-abu

Aku senang abu-abu. Bukan putih, pun hitam. Sebab putih terlalu terang, dan hitam terlalu gelap.

Seperti titik-titik air yang menggantung pada langit. Yang dalam detik berikutnya terjun bebas menemui bumi. Sehingga aroma khas pertemuan air dan tanah menjadi sebuah euforia. Melambungkan romantisme. Menerbangkan butiran-butiran rindu. Ah, rindu yang mencandu.

Apa kabar dirimu? Samakah warna langitmu di sana? Mungkinkah euforia itu juga hadir di tempatmu? Sebuah romantisme yang menghanyutkan pikiranmu tentangku? Sudahkah uap rindu yang ku terbangkan sampai pada titik embun di atas tanaman sekitarmu? Atau mungkin titik embun yang hadir pada kaca mobilmu? Sebab aku tahu, tak ada lagi embun murni di kotamu.

Kebanyakan orang menganggap abu-abu itu tabu. Tak berpihak. Tak konsisten.
Bagiku tidak. Ia hidup. Seperti yin dan yang. Ia nyata. Seperti manusia pada hakekatnya. Seperti kamu. Yang sesekali "putih", sesekali "hitam". Sering tak ku mengerti. Tetapi sekali lagi, itulah hidup.

Hidup sejatinya penantian. Menanti untuk menemui kembali sang Khalik. Yang dicinta. Hingga melakukan apapun untuk yang dicinta. Termasuk kamu. Yang masih tetap ku nanti di ujung cerita kita. Telah ku lakukan apapun untuk menantimu menjadi sosok yang melabuhkan hatinya padaku. Bukan yang telah dipilih olehku. Apa mungkin?

Perjalanan hati itu bukannya tanpa resiko. Buat apa dia kembali? Buat apa muncul sejenak lalu menghilang lagi nanti? Tetapi aku telah menetapkan hatiku untuk ambil resiko. Bukankah hidup selalu ada resiko sekecil apapun? Dan kamu adalah resiko hidupku yang terbesar. Bersama kamu, aku tidak takut lagi menjadi pemimpi. Walaupun, sekali lagi aku berkata, kamu abu-abu.