Sabtu, April 27, 2013

- KINI -

Melihat film “Perahu Kertas” di malam Minggu seperti ini bagi sebagian orang mungkin hanya sebagai hiburan. Tetapi tidak bagiku. Segalanya seperti nyata. Aku menjiwai, meresapi beberapa adegan dan pilihan katanya. Ini mungkin terkesan absurd.

Disinilah aku. Menatap sebuah layar 21 inch dalam kamar berukuran 3x4 meter. Seorang diri. Dan kamu disana. Entah bersama siapa. Tak ada kabar.

Mungkin ada yang salah dengan sinyal operatorku. Cepat-cepat aku me-nonaktifkan telepon genggamku, dan sedetik kemudian mencoba mengkoneksikan kembali.

It’s connecting…

We are connected, I think. Or just I am, not us.

Kalimat terakhir pada percakapan kita dalam sebuah aplikasi chat itu berasal dari aku, dua jam yang lalu. Sebentar-sebentar aku melirik posisimu yang mungkin sedang typing, atau sesekali memastikan bahwa kita tersambung. Dan sekali lagi “perahu kertas” menghanyutkanku menjadi sosok Kugy.

Kabar terakhir darimu yang ku terima adalah hasil bidikan kamera temanmu yang menerjemahkan betapa bahagianya dirimu dalam suasana pegunungan yang hijau dan aliran air terjun di kakimu.

Indah. Tetapi tak seindah isi otakku yang bergumam sendiri, ‘siapa yang mengambil gambarmu tadi? Seorang teman wanitamu?’

…Bila kau dengan yang lain sesungguhnya ku tak rela…

Aku menyadari sepenuhnya, bahwa hidup membujang di sebuah kota megapolitan, agak nyeleneh bila hanya menghabiskan malam Minggu sendirian. Dan aku memaklumi bila memang kamu menghibur diri dari segudang kerja lembur di weekdays dengan bersama teman-temanmu, pria ataupun wanita.

Tetapi sungguh aku tetap tidak bisa menghindari bayang-bayang dirimu bersamanya yang pernah singgah di hidupmu. Sekalipun kau tidak melakukannya atau mungkin tidak berterus terang padaku tentang itu.

Satu kota, satu apartement, satu hobi, dan satu atau dua kesamaan lainnya.

…Dan tak seindah cinta yang lalu, yang jalan dan jalin tanpa restu
Ku akhiri namun tak berakhir, ku hindari, hati tak ingin terpisah…

Status ter-update kini sebuah artikel online, seperti sengaja dikirimkan oleh Tuhan untukku.

“Sudah yakin mau menikah? Pastikan Anda berdua bisa saling berbicara terbuka tentang apa saja.”

Aku meluncur ke situs itu, membaca, dan mencermati setiap kalimat tips di dalamnya. Mencerminkan pada diriku. Malu. Hampir sebagiannya mengarahkanku pada kesimpulan “aku belum yakin untuk menikah”.

Waktu berlalu. Perahu kertas sudah lama hanyut dalam imajinasiku. Dan setan kecil di sebelah mengarahkan jari-jari pada layar smartphoneku untuk menuju timeline pribadimu. Tetapi nihil. Gemerlap megapolitan (atau teman wanitamu) telah menghapus diriku dari pikiranmu.

…Mungkin salah diri ini memikirkanmu, Aku kini telah berdua…

Aku terlelap dalam kehampaan tentangmu.