Selasa, Oktober 23, 2012

A Thousand Years


  • Heart beats fastColors and promisesHow to be braveHow can I love when I'm afraidTo fallBut watching you stand aloneAll of my doubtSuddenly goes away somehow
    One step closer
    (Chorus)I have died everydaywaiting for youDarlin' don't be afraidI have loved you for aThousand yearsI'll love you for aThousand more
    Time stands stillbeauty in all she isI will be braveI will not let anythingTake awayWhat's standing in front of meEvery breath,Every hour has come to this
    One step closer
    (Chorus)I have died everydayWaiting for youDarlin' don't be afraidI have loved you for aThousand yearsI'll love you for aThousand more
    And all along I believedI would find youTime has broughtYour heart to meI have loved you for aThousand yearsI'll love you for aThousand more
    One step closerOne step closer
    (Chorus)I have died everydayWaiting for youDarlin' don't be afraid,I have loved you for aThousand yearsI'll love you for aThousand more
    And all along I believedI would find youTime has broughtYour heart to meI have loved you for aThousand yearsI'll love you for aThousand more

Senin, Mei 21, 2012

what a yesterday!

What a yesterday,
Now i'm stuck on you,
always get you in my mind,
and really wanna get you in a reality,
to hug & protect me,
to kiss & love me,
to be my leader,
to be my man.

love you my man @fajrulfalakh :*

Sabtu, April 28, 2012

Empat Belas Maretku, Dua Puluh Delapan Jam Sehari.

Sejatinya hidup adalah penantian sebuah antrian panjang, dimana terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dua belas jam yang lalu, aku tergopoh-gopoh bangun dari tempat tidur. Dengan segala daya upaya aku mencoba melewati kantuk, menembus air dingin kamar mandi, melewati hawa pagi buta, menuju bandara. Aku masih di Indonesia.

Saat ini pukul 17.00 wib. Sebuah pesawat besar dua tingkat membawaku pergi. Jauh. Melewati selat Sunda, melintasi pulau Sumatra. Sebuah perjalanan ke barat. Menjauhi tanah kelahiran, mendekati tanah yang suci.

Pukul 18.00 wib. Makananku sudah tersaji di atas meja lipat. Spageti lauk ikan, puding ice cream, roti dengan mentega & mayonaise, dan salad sayur yang bagiku lebih pantas disebut acar sayuran. Baru saja aku berucap dalam hati, aku ingin mie dengan ikan. Dan semenit kemudian, pramusaji menghidangkannya padaku. Subhanallah.

Dari tadi yang dapat tertangkap oleh kedua mataku hanyalah gumpalan awan & sinar matahari senja pukul tiga sore. Bukan pukul tujuh malam seperti yang diinformasikan oleh jam tanganku saat ini. Di samping tempat dudukku sudah terdapat satu kantong plastik berlogo Carefour berisi puding ice cream, dua buah roti milikku dan ibu serta pisau & garpu plastik sisa makan malam ( sore waktu setempat). Biasa, Indonesia.
Hei sekarang bukan lagi di Indonesia. Mungkin India, atau Pakistan. Dan aku mulai memamah biak puding ice cream ku.

Tepat pukul 12 malam wib aku terkejut. Bukan karena ada cinderlla yang kembali berubah menjadi upik abu, tapi ini saatnya makan malam (lagi). Ya, makan malam waktu arab. Menunya juga gak jauh beda dengan makan malam wib sebelumnya. Dan segera makananku kembali masuk kantong plastik sebelum pramugari melewatiku.

Empat belas maretku sudah tidak lagi 24 jam,tapi menjadi 28 jam. Begitupun makananku, menjadi 4x dalam sehari. Berkah perjalanan menuju ke barat. Alhamdulillah.

Jumat, Maret 02, 2012

Maafkan - d'bagindas

Maafkan aku menduakanmu.
Mencintai dia di belakang kamu,kamu.
Salahkah semua tingkahku
Yang keterlaluan menyakiti kamu,kamu.

Ku tak bisa menahan rasaku.
Saat kau jauh dariku.
Tak bisa ku hidup tanpa cinta,cinta.

Maafkanlah ku melukis luka
Membuatmu bersedih.
Mengundang air mata.
Cinta tak mengapa kau marah.
Tapi satu ku pinta.
Jangan kau usaikan kita.

Maafkan aku.
Maafkan aku.

Minggu, Januari 08, 2012

ikhlasku

Seorang anak kecil sedang asyik bermain di jok belakang mobil. Wajahnya menghadap arah belakang. Tak peduli sorot lampu dari mobilku yang mengenai wajah mungilnya. Imajinasi telah menguasai segala tindakannya untuk bermain sesuka hati. Sementara sang ibu masih konsentrasi mengendarai mobil di tengah kemacetan sore itu.

Persis dengan diriku beberapa tahun lalu bersama Bagas, bocah usia 3,5 tahun buah hatiku dengan Mas Dhana. Dan kini semua musnah. Bagas tlah pergi, seiring perceraianku.

Semua terjadi begitu saja dan pengadilan memenangkan Mas Dhana untuk mengasuh Bagas. Alasannya simpel, karena aku hidup seorang diri di kota pahlawan ini. Sungguh tak masuk akal. Atau memang hanya akal-akalan ibu mertuaku. Mantan ibu mertua lebih tepatnya. Sementara aku ibunya Bagas.

Mereka bilang,aku bisa menjenguknya tiap minggu. Tapi kenyataannya tidak. Selalu saja ada alasan mereka yang membuatku tidak bisa melihat wajah mungil anakku. Entah sedang dibawa ke rumah saudara, ikut arisan keluarga, atau sekedar jalan-jalan ke mall dengan neneknya.

Satu tahun aku bertahan dengan kondisi terus menerus mencoba menemui Bagas di akhir pekan. Segala upaya telah ku lakukan. Sampai aku tak punya waktu untuk mengurus diri. Pekerjaanku berantakan. Dan lihat tampangku kini, kuyu tak ada gairah. Nasihat kawan dekat hanya sebatas angin lalu. Semua ku lakukan sebagai rutinitas belaka. Cukup. Kini ku relakan Bagas dengan keluarga barunya. Ibu tirinya. Bukan aku,ibu kandungnya.

Kembali ku tatap jalanan malam itu yang penuh gemerlap lampu. Hingga lampu merah di sebuah perempatan jalan protokol. Menyembul kepala anak perempuan berpotongan rambut mirip Dora di sebelahku. Membawa di pundaknya banyak bungkusan kerupuk putih. Hampir-hampir wajah manisnya tertutup.
Diam tanpa kata, ia menatapku. Tatapannya berkata, 'belilah satu bungkus kerupuk ini, Bu'. Aku tak tega untuk memberinya lambaian tangan, ku turunkan kaca samping.

"Berapaan kerupuknya?"

Tangan mungilnya mengacungkan jari telunjuk & jari tengahnya. Ku berikan selembar dua puluh ribuan, "saya ambil tiga saja, kembaliannya buat kamu." Senyumnya merekah seiring diberikan tiga bungkus kerupuk kepadaku.

"Ter.ma.ka.ih", katanya terbata.
***
Aku menuang air panas pada secangkir teh seduh. Sejak pertemuan dengan anak perempuan potongan dora yang menjual kerupuk itu, aku berbisik lirih, "mungkin lebih baik begini."

Bagas tidak denganku, agar dia tak kesepian, dan punya masa depan yang lebih baik. Sementara aku, harus bisa menatap masa depan dan menjalankan kehidupanku. Tanpa Bagas.