Jumat, Januari 23, 2009

SATU HARIKU

Malam harinya aku telah membuat janji untuk bertemu dengan seseorang, dan semua rencana telah tersusun rapi di kepalaku. Aku bilang pada teman-temanku yang sedang duduk berkumpul untuk pergi sebentar. Salah seorang bertanya padaku, “mau kemana?” dan nada yang kurasa agak sedikit bergetar aku meluncurkan kata, “mau ke ATM ambil uang kiriman dari orang tua.” Mungkin dia sedikit mendengar suaraku bergetar, “perlu diantar?” namun aku berusaha menyembunyikan kegugupanku padanya dengan memeberinya sedikit senyuman dalam gelengan kepalaku.
Dengan langkah agak kubuat cepat, aku menjauhi kerumunan teman-temanku untuk pergi menemuinya. Aku terlalu takut untuk dapat terkejar oleh Tari yang mengetahui seluk beluk hatiku dengan orang yang hendak ku temui. Aman. Tapi dengan segera aku menyadari tak ada orang yang ku cari di tempat yang kutuju. Hanya pegawai yang sedang sibuk mengantarkan menu-menu yang di pesan oleh beberapa pengunjung dalam kafe kampus. “ kemana ya?” bisikku.
Hujan mulai turun dengan nada gerimisnya. Tapi orang itu belum juga datang. Orang yang selama ini menemani hidupku di kota besar ini. Yang dengan setia menunggu hatiku untuk bisa berpaling padanya. Yang dengan ketabahannya menerima segala amarahku. Egoku. Dan semenjak malam tanpa bintang itu, aku menemukan kerinduan yang mendalam padanya. Dia mengunjungi rumah kosku tanpa ku minta. Mengobrol di teras kosku, seperti saat kita menempuh sebulan menjalin hubungan. Tak ada yang berbeda. Dan semenjak saat itu, tanpa ada ungkapan diantara kita, aku dan dia kembali bersama. Dia yang kubutuhkan. Farhan.
Entah mengapa aku kembali melangkahkan kakiku untuk pergi meninggalkan kafe kampus yang lebih sering dikunjungi oleh mahasiswa yang berduit itu. Aku tak menghiraukan hujan yang perlahan namun pasti membuatku basah kuyup. Dengan sedikit berlari aku menuju jalanan beraspal, menutupi kepalaku dengan buku agendaku, dan menghindari genangan air di pelataran kafe. Namun tanpa sengaja aku menginjak genangan air di tepi jalan yang tak ku ketahui sehingga membuat airnya semburat ke berbagai arah. “ Ahh..” teriakku. Kini celana jeansku basah.
Aku terus melangkah. Dan tanpa sadar, perjalananku menuju kampus Farhan yang terletak tak jauh dari kafe kampus. Tapi seketika aku menghentikan langkah kaki. Teriakan namaku membuatku berpaling pada dua orang di belakangku.
“Amel! Mau kemana?” Ayu dan Raya. Dua sejoli yang selalu bersama. Mengambil bidang minat yang sama, mata kuliah yang sama, kerja praktek di tempat yang sama, bahkan hari ulang tahun mereka berdekatan. Dan ketika salah satu dari mereka telah mendapatkan pasangan, maka yang lainnya juga menyusul memiliki pasangan. Sempat aku merasa aneh pada mereka berdua. Tapi Tuhan telah menakdirkan demikian.
“aku mau ke perpustakaan, ada buku yang harus ku kembalikan” kali ini aku tidak berbohong. Tiba-tiba saja pikiranku menuntunku untuk mengalihkan tujuanku sebelumnya. “bareng ya. Kita juga mau kesana” aku mengangguk sambil tersenyum.
Tapi sedetik kemudian Tari yang tadi masih di jurusan muncul di sampingku dengan tatapan selidiknya. Seolah mengatakan ‘kau telah berbohong, aku melihat arah kakimu tidak menuju perpustakaan’. Dan seketika itu aku berlari menjauhi mereka bertiga. Aku tak lagi menghiraukan percikan air yang kembali membasahi celanaku, bahkan aku tak lagi menutupi kepalaku dengan buku agenda. Arahku tak tentu hingga aku terjatuh. Berguling-guling. Tak ku dengar teriakan kepedulian mereka.
Aku terjatuh dari tempat tidur, hanya suara erangan kesakitan dari mulutku yang terdengar setelahnya. Mimpi.

Jam telah menunjukkan pukul 3 pagi setelah aku benar-benar sadar suara alarm handphoneku berdering. Aku bangkit dan mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat isyak yang hampir saja ku lewati. Setelah selesai, aku menggapai HP yang terselip di antara dua gulingku. Satu pesan belum kubaca. Dari Farhan.
Bangun sayang, sholat tahajud yuk!
Aku tersenyum membacanya, tapi tak membalasnya. Dan kembali meletakkan tubuhku di atas kasur. Untuk sesaat aku tak dapat memejamkan mata. Entah karena pesan singkat dari Farhan atau rasa takut akan mimpi yang menjadi kenyataan esok hari. Aku merasa malu untuk mengakui pada Tari bahwa aku telah bersama Farhan lagi. Karena sebelumnya aku pernah bercerita bahwa aku tak akan bersamanya lagi dan itu untuk selamanya. Senjata makan tuan.

Pagi hari ketika aku sampai di jurusan Matematika, jurusan yang telah aku tempuh selama hampir empat tahun, aku bertemu Yanto. Kebetulan hari itu aku ingin melihat nilai satu mata kuliah yang belum keluar. Kebetulan Yanto, temanku yang terkenal jayus akan leluconnya, membawa laptop. Dengan segera aku memintanya untuk membuka website kampus. Tapi dia justru memberiku tebakan, “kenapa anak babi kalo jalan pasti menunduk ke bawah? Ayo kenapa?” untuk menyenangkan hatinya, aku berpura-pura untuk memikirkan jawabannya. Aku bertingkah seolah sangat serius. Namun aku melemparkan pertanyaan padanya kembali. “kenapa, To?” dan dengan segera ia meremehkanku. “ah gitu aja gak bisa. Ayo jawab dulu. Nyerah? Oke. Karena anak babi itu malu, tahu kalo orang tuanya babi. Hahahaha” katanya cepat sambil diikuti tawanya yang lepas. Sementara aku hanya tersenyum mengangkat satu ujung bibirku, mencoba menghormati dirinya.
Tapi terkadang aku merasa terhibur dengan lelucon basinya. Dia bisa membuatku sedikit tersenyum. Walaupun setelahnya aku kembali memikirkan masalah yang menderaku. Terutama saat aku sedang bermasalah dengan Farhan. Dia tahu banyak tentang Farhan, karena pernah satu kelas saat Tahun Pertama Bersama pada awal kuliah dulu. Tapi dia hanya ku anggap sahabatku. Tak lebih.

Dihadapanku kini terpampang semua nilai mata kuliahku di semester tujuh ini. Kecuali mata kuliah bernama Tugas Akhir. Aku telah mencentang Tugas Akhir semester ini, namun aku belum bisa menyelesaikannya. Dan ku putuskan untuk menundanya di semester depan. Aku sudah memutuskannya sebelum ujian akhir semester ini berlangsung dua minggu yang lalu. Dan aku menyadari bahwa aku akan mendapatkan nilai E untuk Tugas Akhir. Tapi entah mengapa rasa sedih dan sesal menyelusup dengan perlahan ke dalam relung jiwaku. Menyadari bahwa aku tak bisa memberikan yang terbaik untuk orang tuaku semester ini. Berpuluh-puluh kilometer aku berada jauh dari mereka. Namun aku bisa merasakan kekecewaan mereka saat ini juga. Lebih dekat dari Yanto yang ada di sebelahku.
Keheningan melanda diriku, dan seakan sekitarku menatapku terpaku. Yanto berusaha menenangkan diriku yang tanpa berkedip melihat angka-angka indeks prestasiku. Merosot dengan tajam seperti saat aku memainkan perosotan di taman bermain dekat ruangan kelas TK dulu.
Aku naik ke atas perosotan TK itu dengan sebuah senyuman di bibirku. Bersiap untuk melakukan teriakan yang mampu memekakkan telinga siapa saja di sekelilingku. Dengan bangga aku mempertontonkan kehebatanku meluncur di atas permukaan melengkung yang licin. Dan sekejap kemudian lengkingan panjang keluar dari mulutku disertai lambaian tanganku mengarah ke atas. Cepat sekali. Tapi hatiku bahagia.
Tiba-tiba Sari muncul menuruni tangga setelah bertemu dengan dosen pembimbingnya. Dengan senyuman malu-malu tersungging di wajahnya, dia menghampiri kami yang saat itu sudah ada Dian selain aku dan Yanto. Tanpa kuduga dia menyapa kami dengan kalimat yang membuat rasa sesal menyusup mendobrak hati dan pikiranku. Dia dapat nilai A untuk Tugas Akhirnya. Aku menatap layar laptop milik Yanto. Tapi pandanganku menembus layar itu. Terus melewati komponen-komponen sebuah layar laptop, dan jauh. Pikiranku jauh berkelana saat aku hendak memutuskan untuk menunda mengerjakan Tugas Akhirku sebelum ujian akhir semester ini berlangsung dua minggu yang lalu. Seandainya saja aku mau lebih berusaha keras. Dan semua pandanganku yang kosong itu terhenti dengan kata-kata pengandaian.
Aku pernah membaca sebuah kumpulan cerpen milik penulis terkenal. Dia bercerita banyak hal di dalamnya. Tapi aku terkesima membaca tulisannya tentang suatu pengandaian. Tidak ada seorangpun yang berharap kecewa. Imajinasi selalu datang dengan sempurna. Hadir untuk mencapai kesempurnaan dan keluar dari kenyataan yang tidak memuaskan.

Aku teringat janji dengan Farhan. Sekarang masih pukul sembilan pagi. Masih ada waktu untuk mengambil formulir pembayaran SPP untukku dan dirinya. Ku putuskan untuk pergi dari obrolan yang hanya akan membuatku terus menyesal. Apalagi Uni datang menghampiri. Aku masih ingat bagaimana dia menyindirku yang tidak berpakaian sama dengannya ketika seharusnya aku dan dia melaksanakan seminar untuk Tugas Akhir. Namun kenyataannya hanya dia, Sari, dan Hilda. Tanpa aku. Ah, sudahlah. Aku berjalan menyusuri jalanan setapak keluar menuju Bank yang dekat dengan kafe kampus. Teringat mimpi semalam yang menurutku konyol. Tidak ada Tari hari ini. Dia belum datang.
Ketika membelok ke arah satpam yang berjaga di depan bank, aku bertemu dengan teman sejurusanku. Kita berbincang sebentar tentang kesibukannya, keinginannya, dan yah curhatnya tentang kekasihnya yang acuh tak acuh. Aku berusaha meladeninya secara wajar. Dan ternyata aku memperoleh formulir pembayaran SPP darinya yang diambilnya lebih untuk siapapun yang memerlukannya. Semoga Tuhan membalas kebaikannya, dan memberinya kekasih yang mencintainya dengan tulus. Amin.
Setelah berpamitan dengannya, aku kembali melanjutkan perjalananku menuju perpustakaan. Dan memang janjiku pada Farhan bahwa kita akan bertemu di sekitar perpustakaan. Jadi sekalian saja aku mengembalikan beberapa buku yang telah jatuh tempo tanggal pengembalian. Pandanganku berkeliling mengamati ruangan kafe kampus yang terbuka itu. Sengaja aku melewatinya untuk mengambil jalan pintas. Dan aku menemukan sosok sahabat lamaku. Dia sedang berbincang dengan seorang laki-laki sambil laptop terbuka di hadapan keduanya. Aku masih mengingat bagaimana kita dahulu selalu bersama kemanapun kaki melangkah. Kita selalu sehati. Apa yang kita pikirkan selalu bisa tertebak satu sama lain. Indah sekali masa itu. Namun setelah setahun kita bersama, dia memutuskan untuk pindah jurusan. Aku tahu itu haknya. Tapi di sisi lain aku marah dengan keputusannya. Aku akan merasa sendiri. Meskipun akhirnya aku menyadari aku tak berhak marah padanya. Sekali lagi itu haknya. Dan kita masih bisa bertemu dan bercanda di suatu waktu. Tapi hal itu sudah jarang terjadi lagi. kita sudah sibuk dengan kuliah masing-masing. Aku hanya melihatnya dari kejauhan sambil tersenyum sendiri.
Jalanan yang ku tempuh cukup jauh untuk bisa sampai di perpustakaan. Aku melewati gedung yang biasa ramai oleh mahasiswa yang baru saja menyelesaikan studinya. Dimana banyak tersedia lowongan pekerjaan terpampang di tempat seperti majalah dinding di depan gedung itu. Ku sempatkan untuk mampir sebentar, melihat pekerjaan yang mungkin bisa ku lakukan secara part time untuk menambah penghasilanku si kota rantauan ini. Tapi percuma. Yang mereka butuhkan adalah orang yang bergelar S1. Dan aku telah menunda menyandang gelar itu semester ini.

Memasuki perpustakaan kampusku, berarti berkencan dengan jutaan buku, menikmati bau khas perpustakaan, merasakan hawa orang pintar. Sudah cukup sering aku mengunjungi perpustakaan sejak aku menambahkan Tugas Akhir pada Formulir Rencana Studiku yang dilakukan secara online. Padahal sebelumnya hanya mampir untuk membeli kue-kue di bagian kantinnya. Tapi sekarang lebih kepada melihat buku-buku di lantai empat atau lima, walaupun terkadang hanya bisa bertahan selama 30 menit atau bahkan kurang. Selebihnya hanya memandang sekitar, menguap lebar, mengantuk, tertidur sebentar, dan turun untuk meninggalkan perpustakaan atau menikmati kue-kue di bagian kantin.
Menukarkan kartu identitas dengan kunci loker. Meletakkan barang yang tidak perlu dibawa, membawa dompet, buku, catatan, flash disk, dan bolpoin. Melewati pintu dengan tiga gagang yang bisa diputar, kadang-kadang mengetikkan nomor mahasiswa untuk membantu petugas menghitung banyaknya orang yang masuk perpustakaan. Menuju lift. Menekan tombol lantai. Dan keluar dari lift. Itulah serentetan kegiatan yang harus dilalui di perpustakaan sebelum menjumpai rak-rak buku yang berjajar.
Aku menuju salah satu bangku terdekat dan menulis judul dan nomor buku yang akan ku kembalikan supaya jika aku membutuhkannya lagi, aku bisa dengan segera menemukannya. Lalu beranjak dari tempatku duduk menuju ruangan sirkulasi untuk mengembalikan buku dan meminjam ulang sebagian buku lainnya yang masih ku perlukan. Seorang bapak yang sama waktu aku terakhir kali menjumpainya dua minggu yang lalu. Waktu itu earphone menggantung di telingaku dan tertutup sebagian karena jilbabku. Kemudian bapak itu menanyaiku. “Mbak Amel siapa dosen walinya?” agak terkaget juga aku mendengarnya, “Bu Endah, Pak. Bapak kenal?” tanyaku selidik. Dan bapak itu menimpaliku, “sabar ya orangnya.” Rasa ingin tahuku membumbung, “iya, Pak. Bapak kenal dengan Bu Endah??” tapi Bapak itu malah terdiam seiring tugasnya memeriksa bar code pada buku yang ku pinjam selesai. Dan aku pergi meninggalkannya. Sejurus kemudian aku berpikir, apa karena aku sedang menempelkan earphone ke telinga yang menandakan aku sedang mendengarkan lagu dari HPku dan bapak tadi merasa tidak sopan. Entahlah.
Aku langsung menuju ruangan tempat dipajangnya buku kumpulan Tugas Akhir di lantai empat. Ku rasa tidak perlu menggunakan lift, karena hanya beda satu lantai dari lantai lima tempat aku tadi. Di lantai empat, terdapat beberapa ruangan. Aku menuju ruangan TA di sebelah kiri. Setelah mendapati buku TA yang telah kubaca dari empat bulan yang lalu, membolak-balik, dan menyecan gambar yang diperlukan, aku keluar. Turun ke lantai satu, mampir sebentar di bagian pemeriksaan buku, menerima tanda stempel tulisan TERKONTROL di struk peminjaman, ambil barang di loker, dan menukarkan kunci dengan kartu identitas yang ku titipkan tadi.
Petugas yang menjaga kunci loker itu aneh. Seorang pria, tapi agak sedikit kemayu. Kadang dia menyanyi dangdut, kadang dia menari poco-poco di belakang kursinya, hingga para pengunjung perpustaaan harus menunggu dia menyelesaikan tariannya atau ketika dia kelelahan. Dan yang paling menyebalkan adalah ketika dia menukarkan kartu identitas pengunjung laki-laki dengan kartu identitas perempuan. “siapa tahu berjodoh setelah tukar menukar kartu identitas” katanya. Tapi aku selalu waspada padanya.
Aku meninggalkan perpustakaan, dan menunggu Farhan di bangku tak jauh dari perpustakaan. Lama. Sambil menunggu, ku baca buku novel yang ku pinjam dari teman satu jurusanku. Aku membuka HP dan kubaca kembali pesan sigkat yang dia kirimkan padaku tadi pagi
Aku berangkat dari rumah jam sebelasan, jadi kita ke bank jam setengah dua belas. Oke sayang?
Ku ketikkan sms balasan untuknya.
Ku tunggu kamu di bangku dekat perpus ya. Aku mau kasih kamu formulir pembayaran. Kayaknya aku gak ikut kamu ke bank, biar aku bayar sendiri aja. Aku mau packing untuk pulang. Gak papa kan?
Tak ada balasan dari Farhan. Tapi tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah belakangku. “Assalamualaikum..” sapa Farhan disertai senyuman manis untukku.
“Hei, Wa’alaikumsalam. Ini formulir pembayarannya. Gak papa kan kamu bayar sendiri?” balasku sambil menyodorkan selembar formulir yang ku ambil tadi. “Aku harus pulang hari ini. “
“kenapa? Ibu sama ayah sehat kan?” tanyanya. “atau aku bayarin aja sekalian” Seketika itu aku muram. Dan dia mengamati perubahanku itu. “ada apa sayang?”kata-katanya lembut. Hingga aku menceritakan yang terjadi padanya.
“nilai IPS ku jatuh banget, Han. Dan IPKku gak nyampe tiga koma. Aku tahu kalo bakal gini, tapi aku gak nyangka bakal seburuk ini.gara-gara satu mata kuliah yang dapet BC” Aku menundukkan wajahku. “ gimana aku harus bilang sama ayah dan ibu? Pasti mereka kecewa. Makanya aku mau pulang sekarang”
“aku tahu kamu pasti nyesel dengan keputusan yang kamu ambil. Tapi inilah yang terjadi. Mau gak mau kamu harus bisa terima. Sekali kali dapet nilai jelek gak papa kan?” candanya yang membuyarkan wajah muramku hingga aku menyunggingkan senyumanku padanya. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.
Dan kemudian kita berjalan menuju ATM untuk ambil uang. “untung beasiswaku udah cair, jadi aku bisa ambil duit. hehe”
“gak dikirimi ibu? Jadi kamu pake uang tabunganmu? Pasti ibu bangga sama kamu.” Timpal Farhan.
“tapi aku juga buat ibu kecewa. iya kan?” sambungku. Tapi dia segera membuatku tersenyum lagi dengan leluconnya.
“ kalo gitu telepon ibu aja. Kalo kamu pulang, kamu pasti akan ngerasa bersalah terus. Aku yakin ibu bisa memaklumi. Nih” katanya segera sambil memberikan HPnya padaku.
Aku ceritakan semuanya sama ibu lewat telpon. Ibu dengan ucapan bijaknya, telah membuka diriku. Aku telah menganggap TAku sebagai beban. Aku terlalu menggebu untuk mendapatkan yang terbaik. Tanpa sadar aku terlalu sombong untuk membuat yang lain menyanjungku. Dan yang pasti aku kurang beribadah pada Tuhan. Pada Allah.
Aku telah bermimpi terlalu tinggi yang membuatku lupa akan daratanku. Begitu kata ibu. Tapi bukankah mimpi yang membuat seseorang bisa bertahan? Hingga seseorang bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Tapi kata ibu lagi, “kau harus ingat bahwa ada Allah yang menggenggam semuanya, memegang hidupmu, mengatur langkahmu. Dan kau tidak bisa berbuat apa-apa jika Allah merubahnya seketika.” Ya, mungkin aku terlalu menginginkan diriku menjadi sempurna tanpa melihat ada yang lebih sempurna. Maha Sempurna.
Aku hanya termenung saat memutuskan hubungan teleponku dengan ibu di seberang sana. “terima kasih Han. Antar aku pulang ke kos ya. Aku capek. Gak papa kan?” Farhan hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam dan Farhan tidak mau mengajakku bicara. Ku rasa dia tahu keadaanku. Seharusnya aku tersungkur meletakkan keningku di atas sajadah, merendahkan diriku di hadapan-Nya, dan meletakkan semuanya dihadapan-Nya untuk memberiku yang terbaik. Menangis mungkin bisa melunturkan semua dosa-dosaku, semua egoku, semua nafsuku. Tapi aku menyadari bahwa yang terpenting adalah bagaimana bangkit untuk jalan di depanku setelah ini. Tentu dengan ridho Allah dan pasti restu ayah-ibuku.
Sampai di depan kos, aku melambaikan tanganku pada Farhan dan segera membalikkan badanku menuju kamarku. Aku, Amelia Restu Ramadhan, tahu apa yang harus ku lakukan setelah ini.

Senin, Januari 12, 2009

my regret..

hari ini temen2 angkatan 2005 yang udah ngambil TA pada seminar.
kalo dilihat jadwal sebenernya, aku termasuk di dalamnya. tapi hari ini aku malah duduk di jajaran temen2 2005 yang belum ambil TA, tanpa seragam sales yang jadi hal wajib kalo lagi seminar TA, dan tanpa persiapan apapun. ya iyalah secara aku udah mutusin untuk gak ikut seminar semester ini.
ada rasa sedih bergelayut dalam diriku.
aku gak bisa merasakan ketegangan yang dirasakan temen2ku yang lagi duduk di depan itu.
aku gak bisa dengan bangga memakai seragam sales kebanggaan jurusan, yaitu bawahan hitam dan atasan putih.
dan otomatis aku juga gak bisa lulus semester ini. hiks..

apalagi tadi malam temen SMAku tanya kapan sidang?
apalagi tadi sebelum masuk ruangan, temen seperjuanganku saat proposal bilang (mungkin ngece) lho, kok nisa gak pake baju putih item kayak kita?
apalagi beberapa hari yang lalu, dosen pembimbingku nyamperin aku dan dengan raut muka yang kecewa menerima keputusanku untuk mundur.
apalagi akhir-akhir ini temen2ku pada tanya kapan jadwalku seminar, dan begitu mereka tahu aku mundur, mereka pada menyesali keputusanku.

sedih.

but, it's final. i have decided it. and i believe that Allah has the most beautiful plan for my life.
Ganbate!!

gak penting

Sebagai seorang pengendara motor yang sudah melang-lang buana di dunia persepedamotoran alias udah ngendarain motor selama kurang lebih 4 tahun, aku sering mengamati orang yang naik sepeda motor. Baik yang duduk di belakang atau yang berperan sebagai supir.
Ada yang naik motor tuh gak pake baju2 pelengkap kayak jaket, sarung tangan, slayer, dan segala macemnya. Aku mikir tuh orang nyante banget ya? Apa gak kedinginan ya? Kayaknya perjalanan di jalan raya tuh sama aja kayak jalan di komplek rumah yang aman tentram dan damai gak ada debu ato kendaraan yang lebih gede badannya ketimbang sepeda motor. Biasanya se para kaum cowok yang dandan pake kaos oblong, celana pendek ama sandal jepit. Nyante banget ya?!

Ada lagi yang penuh dengan barang pelengkap. Mulai dari jaket, sarung tangan, slayer, kaca mata,earphone buat denger radio ampe syal penutup leher. Hehe kayaknya itu emang orangnya lagi sakit ya?! Nah tau sendiri kan biasanya yang suka ribet kayak gini siapa lagi kalo gak kaum cewek. Tapi bagi aku yang juga cewek juga gak seribet itu. Paling pake jaket, sarung tangan, kacamata item, sepatu boots. Haha sama aja ya?! Gak kok bagi diriku yang sedikit agak tomboy, cukup baju yang sopan untuk berkendara motor. Jarang pake jaket, walaupun ortu ma temen2 sering bilang “pake jaket Nis!” Jarang pake sarung tangan, ampe tangan jadi kayak kucing belang 2 yaitu item dan putih. Juga jarang pake kacamata item untuk menghalangi debu yang masuk ke mata ato biar gak silau kena matahari. Ya dulu sih pernah tapi untuk selanjutnya terserah anda, alias males.

Style orang berkendara juga macem2. Ada yang kalo naek motor tuh kayak jagoan yang suka kebut-kebutan. Ada yang jalan kayak putri keraton baru belajar naek motor, jadi pelan banget. Ada juga yang standar, ngebut di saat lengang dan nyante di saat macet. Yeah, that’s me.
Nah ada lagi, gaya orang naek motor tuh kayak orang yang badannya gede banget sampe kedua lengan di buka selebar-lebarnya biar kelihatan keren dan kuat. Ato jangan2 orang itu lagi ngeringin keteknya yang basah gara2 keringetan?haha.

Kebalikan dari orang yang lagi ngeringin keteknya, aku pernah juga liat orang yang kalo naek motor tuh tangannya dikempit. Kayak gak ada kebebasan didirinya untuk berekspresi saat mengandarai motornya. Ato jangan2 dia takut bulu keteknya pada terbang kalo dia dengan bebas berkekspresi?Haha.

Dulu waktu masih dibonceng dan lagi gencar2nya sempoa, aku yang lagi belajar ngitung dengan alat sempoa dalam bayangan pikiranku, pasti ngitungin jumlah dari plat nomor mobil yang ada di sekitarku. Gak penting banget sih, tapi lumayan kan berlatih kecepatan otak. Ya walaupun sebenernya ngelihat pemandangan jalan raya lebih menyenangkan daripada ngitung.
Sekarang ketika aku udah lupa gimana cara ngitung pake sempoa bayangan, aku lebih suka merhatiin pengendara motor yang gayanya aneh2. Tapi dengan gitu aku sadar kalo manusia itu punya banyak style berbeda, dan semuanya gak ada yang sama. Ya walaupun sempat ketika aku pertama kali pake tas laptop baruku ternyata ada juga orang yang pake tas sama denganku, dan aku langsung menyalipnya biar dia tau kalo tasnya mirip aku. Sekali lagi gak penting juga sih..haha.

Jumat, Januari 09, 2009

karena Allah

Lenyap semangatku.
Hilang asaku.
Musnah impianku.
Meski bayangannya masih
Tergambar dengan jelas.
Aku tak bisa meraihnya.
Aku hanya bisa bermimpi.
Bermimpi itu indah.
Indah, sungguh indah.
Bahkan kenyataan tak lagi nampak.
Seiring semangat, asa, dan impianku yang terbang.
Aku ingin diriku yang dulu.
Dengan segudang semangat, asa, dan impianku.
Berlimpah ruah.
Apa yang bisa membuatku kembali?
Hidup seorang dewasa,
Membuatku terhenti.
Menyadari begitu banyaknya pilihan.
Menyadari begitu sempitnya waktu..
Hingga aku terjebak.
Pilihan yang mungkin salah.
Waktu yang mungkin tak tepat.
Kalau bukan karena Allah.
Yang bisa membuat semua menjadi yang terbaik.
Walaupun sakit, kecewa, sedih.
Hidupku menjadi berarti karenaNya.

Senin, Januari 05, 2009

Yang Terpilih (4 Januari 2009 ; 3:33 pm)

Sempat aku ingin kembali.
Merajut asa yang sempat terputus.
Tapi ego masih menguasai.
Menghilangkan mozaik asa yang telah hangus.
Dan kini,
Karena kondisi,
Semua itu ilusi,
Untuk menjadikan semuanya kembali berisi.
Penuh,
Hidup,
Dan bersatu.
Entah apa aku bisa meraih,
Tanpa tertatih,
Untuk beralih,
Dan berdalih,
Seseorang di sana untukku yang terpilih.

TRAGEDI CICAK GIANT

Tepat hari terakhir di tahun 2008, ada hal yang bisa buat aku shock berat sampe aku meninggalkan kasur tidurku. Dan itu berhubungan dengan seekor binatang yang sebenernya biasa aja, Cuma karena suatu hal aku bisa berteriak histeris dibuatnya.
Ketika aku pulang dari menjemput mami, kondisi rumah sepi seperti saat terakhir kali ku tinggalkan tadi pagi. Ku buka pintu rumah, terasa agak berbeda dari biasanya. Agak sejuk. Mungkin karena suasana di luar mendung, jadi suasana di dalam rumah juga ikutan sejuk. Saat melangkah masuk, aku bilang sama mami, “kok tumben ya sejuk?”
Dengan nada histeris, mami langsung menjawab, “iya ya! Sejuk!”
Tanpa basa-basi lagi aku ngeloyor masuk ke dalam dan melihat kondisi kamarku yang dalam keadaan gelap. Tapi meskipun gelap, aku masih bisa melihat semuanya dengan jelas. Dan begitu ku injak satu langkah kaki ke dalam kamar, spontan aku keluar dan berteriak “ya Allah, tokek gede banget!! Mami, ada tokek! Itu sekarang ada di belakang computer! Haduh, gak bakal tidur di kamar deh! Itu pasti masuk dari lobang ventilasi atas!” sambil merinding karena jijik.
Mami yang kaget karena anak semata wayangnya berlagak seperti ulat bulu lagi jalan, lagsung melihat si tokek dengan rasa was-was. Tapi sayangnya mami gak bisa ngelihat si tokek tadi yang dengan secepat kilat menghilangkan jejaknya ketika aku berteriak.
“Mana? Gak ada tuh! Salah liat kali!” mami berseru karena gak menemukan bukti yang valid.
“haduh beneran Mi !! tadi aku lihat tokek gede banget! Masa sih aku salah lihat??!” dengan keyakinan sepenuh jiwa dan raga, aku mencoba untuk membuat mami percaya sama anaknya ini. “pokoknya aku gak tidur di kamar! Kan sekalian lihat Harry Potter acara malam tahun baru. Hehe”
“ya udah, nanti mami temenin deh..” mami emang baik banget.
Sejak aku lihat makhluk tak diundang itu ada di kamar, tiap aku ambil barang-barangku, selalu aku melihat dengan seksama seluruh ruang kamarku. Siapa tahu si tokek stress itu lagi nangkring di bagian kamarku yang lain. Ato tiba-tiba lagi ada tepat di atasku. Pokoknya setelah aku dapet barang yang mau aku ambil, dengan secepat kilat menyambar daun talas, aku lari dari kamar.
Semalaman tidur di depan tipi rasanya pegel juga, apalagi gak pake kasur. Akhirnya setelah 24 jam dari peristiwa ditemukannya sosok tokek stress, aku kembali normal untuk bisa menerima kenyataan kalo tuh tokek emang gak ada. Ya walaupun aku yakin 100% dengan kondisi penglihatanku yang masih normal, kalo aku bener-bener lihat tokek di kamarku. Tapi heran juga sih, ama tokek stress itu. Yang namanya tokek kan pasti berbunyi meskipun hanya 1 kali seumur hidupnya. Tapi ni tokek nggak berbunyi sama sekali. Masa iya dia tokek bisu atau malu-malu kucing untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan cewek manis kayak aku? Haha. Atau jangan-jangan dia hanya makhluk jadi-jadian yang mau mengawasiku dan akhirnya memangsaku? Berlebihan gak sih? Mungkin otakku udah keracunan sinetron indosiar kali ya? Haha.
Sehari berikutnya ketika aku asyik dengan tugas-tugasku. Gak tau kenapa fillingku menuntun mataku untuk menengok sebentar ke arah lobang ventilasi kamarku. Deg. Kayaknya kenal sama sosok yang ada si luar sana yang sedang mengawasiku dengan salah satu matanya. Dan dengan jelas aku melihat seonggok kepala tokek di situ. Gak pake teriak kayak kejadian kemarin, aku langsung menemui dan meminta ayahku untuk melihat sosok tadi dari luar dengan jelas, biar aku gak salah lihat lagi.
Itu bener-bener makhluk tak diundang kemaren. Tapi itu bukan tokek seperti yang ku kira. Itu cicak yang gedenya sama kayak tokek. Ya bisa dibilang cicak yang mengalami gigantisme, alias cicak giant! Gak percaya? Sama! But, it’s real!
“Tuh kan bener! Aku gak salah liat kemaren! Gak ada yang percaya sih.” Spontan aku mengungkapkan isi hatiku kepada ayah dan mamiku.
Karena bener-bener ngelihat cicak gede bakal masuk kamarku, ayah langsung mengusirnya dan semenit kemudian menutup semua lobang ventilasi kamarku dengan karton kalender calon anggota legislative yang lagi promosiin dirinya. Sorry, Pak!
Yah, jadinya sekarang kamarku pengap. Dan aku masih belum berani untuk membuka jendela kamarku untuk sementara sampai batas waktu yang tak ditentukan. Haha. Untung masih ada kipas angin.
Tapi aku sempat mikir, apa iya dia jelmaan seseorang yang saat ini aku gak lagi berhubungan ama dia. Karena udah 2 hari dari kejadian tereakan histerisku itu dia gak menghubungiku. Tapi jahat banget menyamakan dirinya dengan seekor cicak giant. Sorry buat seseorang disana, itu hanya imajinasi yang ada di kepalaku. Sekali lagi sorry, peace..