Minggu, April 05, 2009

Kenangan dalam Sebuah Senyuman

-inDi tengah-tengah asap putih itu, aku melihatnya sedang membakar tumpukan sampah. Sosok tua yang sudah dua puluh tahun merawatku. Aku tak tahu bahwa itulah terakhir kalinya ku lihat tubuhnya yang tua renta masih dapat berdiri dengan sedikit membungkuk.

Seminggu yang lalu nenekku jatuh sakit. Kanker hati kata dokter. Begitu banyak obat yang harus dikonsumsinya. Tapi itu juga perkataan yang aku dengar dari orang tuaku saat menjenguknya. Aku sendiri belum sempat melihat kondisi sesungguhnya, dan aku merasa nenek akan membaik. Dua tahun yang lalu ketika nenek ingin merasakan minuman bersoda, tiba-tiba saja langsung jatuh sakit dan diopname di rumah sakit. Tapi toh nenek sehat lagi. Tak ada bedanya ketika terakhir kali aku mengunjungi rumahnya sebulan lalu.

Aku terlalu sibuk dengan tugas kuliah yang datang bertubi-tubi untuk mendongkrak nillai UTS yang anjlok. Tak terpikirkan olehku untuk sekali saja bertemu nenek yang menganggapku cucu tersayangnya. Ayah dan ibu sudah berkali-kali mengingatkanku untuk melihat kondisinya. “Nenekmu kangen sama kamu lho,Nduk! Terus-terusan nanyain kamu!” kata ibu.

Niatanku untuk mampir sebentar ke rumah nenek belum juga terwujud. Terlalu sering aku tak berada di rumah. Praktikum yang terus-menerus membuatku lelah. Dan untuk membunuh kelelahanku, aku pergi jalan-jalan bersama teman satu kelompok praktikum. Karena kemalaman, akhirnya aku menginap di rumah kontrakkan teman kuliahku.

Hampir seminggu kegiatanku tak terhentikan. Hingga suatu sore handphoneku berdering. Di layar tertulis ‘ibu’. Begitu banyak kalimat yang dilontarkan ibu, sehingga aku tak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang mengalir hangat di pipiku. Tari, sahabatku, langsung menghampiri dan menanyakan keadaanku. Aku termenung. Tari terus menerus mendesakku. Aku ceritakan yang terjadi, dan ia langsung membentakku, “Cepat pergi! Sebelum terlambat! Masalah laporan praktikum biar aku dan teman-teman yang mengurusnya.”

Di perjalanan, tak henti-hentinya aku menyumpahi diriku sendiri. Egois. Sok sibuk. Tak seharusnya aku meremehkan kondisi nenek. Hingga saat ini aku harus menyesali perilakuku sendiri. Dan semuanya tumpah melalui tangisan di dalam helm teropongku.

Saat tiba di pelataran, aku sempatkan untuk menghapus sisa air mataku. Dan dengan senyuman yang ku buat setegar mungkin, ku langkahkan kakiku menuju rumah nenek. Hampir semua kerabatku berkumpul. Pakdhe, budhe, om, tante dan sepupu-sepupuku. Semua tatapan tertuju padaku. Seketika itu pula aku meninggalkan mereka dan langsung menuju kamar nenek yang dulu sering ku tiduri bersama nenek kalau aku sedang dimarahi orang tuaku.

“Nenek..ini Amel. Nenek gak papa kan?” suaraku terdengar sedikit bergetar di telingaku.

“Bacakan surat Yasin buat nenek ya, nduk.” Jawab nenekku yang semakin membuatku tak bisa melontarkan sepatah katapun. Ku coba untuk bangkit dan mengambil air wudhu sebelum membaca surat Yasin. Hatiku benar-benar galau saat membacanya. Dan semakin ku coba untuk meyakinkan diriku bahwa nenek akan baik-baik saja, semakin aku tak kuasa untuk menahan air mataku yang tumpah lagi.

Selesai membaca, ku pegang tangan nenek yang sudah tinggal tulang dan kulit itu. Jauh berbeda dengan badanku penuh lemak ini. “Nenek udah gak papa kok nduk. Makasih ya. Amel kuliah yang bener, biar cepet lulus” suara nenek yang lemah ditambah senyuman yang tersungging dengan tulus itu membuat ku mengangguk tanpa suara. Dan sesaat kemudian nenek memejamkan matanya. Aku terkejut. Ku lihat dadanya masih bergerak. Aku merasa lega. Namun, tangisanku tetap saja pecah.

Sehari berikutnya, semua keluargaku berkumpul. Tak akan ada lagi hari-hariku bersama nenek seperti dulu. Tak ada lagi yang membuatkan kue kesukaanku. Di tengah-tengah asap putih hasil pembakaran sampah pun tak lagi ku temui sosok tua itu yang menganggapku cucu kesayangannya. Ingatanku seakan menembus waktu yang terlampaui ketika aku masih kecil. Aku sering membentak nenek. Padahal nenek sangat sayang padaku. Bahkan hingga detik terakhirnya, masih menanyakan kondisiku.

Sampai detik ini, aku masih berandai-andai. Andai semua hanya mimpi. Dan semua kembali terbangun dari lelapnya tidur. Aku masih termenung melihat ayat-ayat dalam surat Yasin ditanganku. Tapi kini aku hanya bisa pasrah. Dan menyadari bahwa bacaan surat Yasinku 40 hari yang lalu adalah hal terbaik dan terakhir yang aku lakukan pada nenek. Penyesalan yang menyembul ke permukaan hatiku karena aku terlalu sibuk dengan tugas-tugasku sudah tak berarti lagi. Nenek sudah tenang disana.

Sosok nenek yang tua masih saja membekas dalam ingatanku. Tiba-tiba suara nenek terdengar jelas ditelingaku, “Terimakasih Amel. Nenek sayang sama kamu, nduk.” Sosoknya hadir di sebelahku. Aku kaget. “nenek?!” dan kemudian nenek tersenyum padaku. Senyuman yang sama dengan yang terakhir kali kulihat. Aku bahagia melihatnya, hingga tak terasa ku pejamkan mataku. Sesaat kemudian ibu membangunkan tidurku.“Bangun, nduk! Orang lain pada doain nenek kok kamu malah tidur.” Kata ibu yang langsung membuatku sadar dari tidurku. Ternyata aku tertidur selama pengajian tadi. Ku tutup buku Tahlil, dan ku lihat foto nenek yang tersenyum. Aku yakin seluruh kenanganku bersama nenek selama dua puluh tahun akan terus melekat dalam ingatanku bersama senyuman bahagia milik nenek. Amel sayang nenek.

1 komentar:

Alleyah Letdjia mengatakan...

memang kita baru menyesal setelah kehilangan...

aku juga pernah mengalaminya dengan mbahku.

Hingga kini aku masih menyesal...
sangat menyesal...