Minggu, Maret 22, 2009

“Sekejap Mata”


Saat ku buka mata untuk yang pertama kalinya, ada sosok amat besar yang mengamatiku dengan wajah penuh senyuman. Dan alunan merdu di telingaku telah membawa kedamaian jiwa. Mengingatkanku akan sumpahku di hadapan yang Maha Bercahaya, lalu tiba-tiba aku merasakan cairan di sekujur tubuhku yang belum sempurna. Dan ruangan yang kutempati membuatku tak bisa bergerak dengan bebasnya ketika ku rasakan seluruh tubuhku sudah tak muat lagi di dalamnya. Aku harus keluar dari tempat itu, untuk menjemput hawa kebebasan. Tetapi udara di luar sangat dingin dan penuh dengan konsekuensi yang tak sepenuhnya seperti harapanku. Sehingga ku putuskan untuk memejamkan mataku sambil ditemani sayup-sayup alunan tadi. Aku terlelap.


Kini aku mengenal sosok yang memandangku waktu itu. Dia ayahku, dan alunan merdu itu adalah adzan. Lalu, sosok disebelahku adalah ibuku yang sedang memberikan air kehidupan yang telah menghapus dahagaku ini. Serta merta ia memelukku dengan kasih sayangnya yang lembut. Kedua orang tuaku begitu mencurahkan seluruh perhatiannya padaku. Pada pertambahan berat badanku, kesehatanku, helai rambut yang tumbuh di kepalaku, gigi mungil yang muncul dari gusiku, dan seluruh ucapan serta tingkah polaku.


Ku temui nenek dan kakekku, saudara-saudara ayah dan ibuku, anak-anak dari saudara-saudara ayah-ibuku, serta saudaraku yang lain. Begitu pula dokter dan suster yang menimbang beratku dan memberikan berbagai macam imunisasi, teman-teman satu angkatan kelahiran denganku. Rasanya semua menyenangkan berada di sini. Di dunia yang penuh realita.
Mataku kembali terbuka pagi ini. Dan aku harus mengenakan seragamku, mengikat tali sepatu yang berbulan-bulan aku mempelajarinya, membawa setumpuk buku pelajaran, dan bertemu hari serta kejadian baru di hadapanku. Memiliki teman satu bangku yang bisa ku ajak bekerja sama saat ulangan tiba, guru Matematika yang minta ampun galaknya, serta orang yang selalu menjahili dan memusuhiku.


Semakin bertambah usiaku, yang kata pak ustadz berarti pengurangan jatah hidup di dunia, semakin bertambah pengetahuanku, kemampuanku, dan tentunya pakaian yang sudah tak muat lagi. Bahkan ocehanku yang dulu membuat orang tuaku tertawa bahagia, kini justru sebaliknya. Kadang-kadang mereka menangisiku. Tapi mereka tetap sayang padaku dan terus mengucapkan namaku dalam setiap doa mereka. Aku mendengarnya suatu saat, hingga aku merasa harus berubah. Menjadi seorang yang dewasa.


Pilihan yang ku ambil untuk menjadi seorang dewasa, telah memberiku berjuta masalah yang tak henti-hentinya menimpaku. Inilah hidup, begitu kata orang bijak berkata bahwa hidup tanpa masalah sama saja mati. Dan aku menyadari inilah yang memberikan warna dalam hidupku, dan aku akan menjadi seseorang yang lebih baik ketika berhasil mengatasi masalah satu persatu.
Aku mengenal cinta. Ia yang telah membuatku salah tingkah. Mengajarkanku merasakan desir-desir saat bersentuhan dengannya. Memberikan senyuman terindahnya di setiap sudut hariku. Menginspirasikan banyak kata dalam pikiranku yang tumpah ruah dalam bentuk puisi. Dan mengantarkanku ke gerbang energi positif sehingga aku mampu melahap gelar akademisku serta pekerjaan yang ku raih. Ia pula yang memperlihatkanku akan cinta orang tuaku selama ini. Cinta tanpa henti. Cinta tanpa imbalan. Hingga saat terakhir ku pandangi wajah orang tuaku.
Ketika ku buka kembali mataku, di hadapanku duduk seorang pria yang mencintaiku. Dan dengan sorot mata yang tegas tapi memancarkan kekagumannya padaku, ia meminangku dengan mantap di depan penghulu. Seketika itu pula pipiku terasa hangat. Merasakan aliran bahagia dari ucapan suamiku. Dan mengetahui bahwa orang tuaku juga ikut tersenyum bahagia melihatku.


Tak ada yang abadi di dunia ini. Sekalipun meminta pada Yang Maha Berkuasa untuk memanjangkan usia, memberi kesehatan, dan segala kesejahteraan di dalamnya. Semua keputusan ada di tanganNya, segala yang dititahkan adalah harus tanpa bisa di tawar lagi. Aku seperti mengulang kejadian berpuluh-puluh tahun lalu saat ingin ku raup kebebasan jiwaku, dan kembali menatap Yang Maha Bercahaya.


Tapi aku harus menuntaskan kewajiban terakhirku. Memberikan kebebasan pada bayi mungilku yang telah mengajariku untuk lebih sabar. Sejak ada sesuatu yang bergejolak dan membuatku merasakan cairan hangat dan kecut dalam tenggorokanku hingga ku tumpahkan semuanya. Sejak ia hadir di dalam rahimku. Dan aku mulai membiarkan bobotku terus bertambah demi sebuah nyawa yang ingin melihat dunia.


Kini dengan tatapan dan nafasku yang terakhir, bayi mungilku telah menggantikanku meneruskan kehidupanku yang terhenti. Lalu ku pejamkan mata. Aku terlelap selamanya. Dan saat ku buka penglihatanku, sayup-sayup ku dengar alunan merdu surat Yasin dan tahlil menemani ragaku yang kaku di tengah ruangan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nyoba komentari blog sendiri..hehe
ipik